BURUNG DARA DAN PRITGANTHIL

Gambar

Gugon tuhon. Gugon atau gugu yang artinya mengikuti atau menurut, sedangkan tuhon atau tuhu yang bermakna patuh atau setia. Dengan demikian, gugon tuhon bisa diartikan mengikuti dengan setia. Dikalangan masyarakat Jawa dahulu, gugon tuhon biasanya berupa larangan, misal: “jangan begini nanti akan begitu!, jangan begitu nanti akan begini!”.

Burung Pritganthil, burung yang identik dengan kematian, identik dengan malapetaka (gugon tuhon). Setiap ada bunyi burung ini orang akan berprasangka tidak baik, karena burung petaka. Maka akan dicari, dimana sumber bunyi tersebut berasal dan kemudian akan diusir menjauh, dengan harapan pergi.

Dalam masyarakat Jawa, bunyi burung ini dihubung-hubungkan dengan sesuatu, seperti kebanyakan orang desa dengan istilah, “gathuk mathuk”. Entah karena kreatif, bunyi burung ini diterjemahkan ke dalam bahasa, yaitu: “endi bocahe, ndi bocahe.. Bocahee…”, yang artinya mana anaknya. Setelah suara burung hilang, orang-orang percaya akan ada malapetaka, seperti anak-anak kena pilek, batuk, bahkan kematian.

Pritganthil, burung yang hanya mau hidup enak, meski suaranya sengau dan banyak dibenci orang. Burung pritganthil tidak mau mengerami telurnya sendiri, tapi dia menitipkan pada burung lain, seperti prenjak dan sikatan ataupun crocokan. Pritganthil akan membuang telur yang dititipinya dan mengganti dengan telornya serta membiarkan telor burung yang dititip mengerami mati sia-sia.

Menengok cerita diatas, kita seperti melihat cerita dunia ini yang tergambar jelas oleh burung pritganthil. Berita di surat kabar, televisi, radio dan juga berita online persis seperti pritganthil. Saat ini banyak orang yang merasa suaranya paling merdu, paling benar, paling indah padahal orang lain yang mendengarnya merasa terganggu karena sengau, fals dan menyakitkan telinga.

Tidak sedikit pula saat ini kita temui berita orang yang tidak bertanggung jawab, seperti menelantarkan anaknya, dan tumbuh kembang panti asuhan tanpa kasih sayang orang tua yang tidak bertanggungjawab (mau enaknya, seperti pritganthil).

Kita mendengar, melihat dan membaca orang-orang bersuara sengau membawa kematian, membawa malapetaka seperti pritganthil. Mau bukti? Berapa orang di legislatif dan eksekutif saat ini yang tersangkut korupsi? Dan, hitung berapa anak di negeri ini yang kekurangan gizi, meninggal karena tidak sempat berobat, apalagi ke rumah sakit?

Yuk, mari kita belajar dari burung dara. Meski burung dara tak bersuara, burung ini lambang cinta sejak jaman dahulu kala. Kesetiaan burung dara sudah tidak diragukan lagi. Burung dara yang pendiam, tidak berisik memamerkan suaranya tetapi burung dara akan berjuang mencari makan tanpa mengumbar suara, mencintai pasangannya tanpa gombalisasi tapi bukti nyata yang dibuktikan dengan perbuatan.

Burung dara tidak akan menyanyi hanya untuk merayu pasangannya dengan suara merdu, apalagi dengan suara fals dan sengau. Tetapi burung dara akan membuktikan kesetiaannya cintanya dengan tidak kawin dengan burung lain, burung dara tidak akan mengumbar janji, tidak pula membuat puisi, tetapi bukti perbuatan.

Tinggalkan komentar